Hidup adalah memakan atau dimakan.
Adalah senja berganti malam. Adalah detik, menit, jam, hari, minggu, bulan dan tahun yang kita siakan. Masa kini yang terasa jemu, masa lalu yang terasa pahit dan masa depan yang entah seperti apa.
Sedangkan mati adalah tak berarti.
Adalah dedaunan tanpa hijau. Adalah lubang menganga yang lalu tertutup tanah merah. Dan berhentilah semua jerih payah kita di dunia. Yang berbakti kepada Tuhan, akan merasakan indahnya dunia setelah mati. Sedang yang ingkar kepada Tuhan, akan menyesapi didihan siksa-Nya.
Begitu kira-kira yang kupelajari semasa di Sekolah Dasar. Seperti apakah persisnya itu semua? Hanya Tuhan-lah yang tahu. Manusia hanya membaca kitab-kitab suci dan membayangkan seperti apa jadinya. Walau begitu, aku tak habis pikir mengapa banyak anak Adam dan Hawa yang ingkar kepada-Nya. Berpesta pora seolah mereka kekal di dunia. Bukan bertindak seolah mereka akan mati saat berada di pesta-pesta itu. Mabuk-mabukan dengan cinta, seolah nyawa mereka tak kan pernah meregang lalu lepas dari raga. Aku? Tentu saja aku takut mati hanya dengan bekal yang seperti ini.
Hidup adalah memakan atau dimakan.
Naluri hewani yang bercokol di dasar otak manusia. Mungkin tidak semua manusia, melainkan beberapa manusia culas yang menyebabkan itu menjadi keharusan bagi semua. Menular seperti terbangnya virus-virus dari satu vektor ke vektor lain menuju korbannya yang baru.
Yang kupelajari selama ini, tertindas berarti mati. Dimakan. Tak berdaya.
Mungkin kau tak pernah merasakannya. Karena kau adalah anak emas ibumu. Murid terpandai dikelasmu. Wanita tercantik di kampusmu. Anak buah kesayangan bosmu yang berperut tambun itu! Tapi aku tak terlahir dengan keberuntungan yang berhelai-helai membanjirimu, bagai hujan yang mengguyur bumi dengan kesejahteraan.
Aku hanyalah setitik debu di antara berjuta-juta butir tanah.
Sehelai rumput di luasnya stadion bola Lebak Bulus.
Sebutir garam di laut Atlantik.
Tak bermakna. Tak terpedulikan. Dianggap tiada karena melebur dengan berjuta-juta debu lain, rumput lain, dan butir garam lain. Namun hal itu bukan alasan bagimu untuk menghinaku dan menertawakanku dengan gayamu yang sok anggun itu! Atau menertawakanku saat kacamata tebalku yang sering kau sebut dengan pantat botol itu, merosot terus ke ujung hidung pesekku. Bukankah kita semua dilahirkan dengan harga diri? Mungkin satu-satunya hal yang aku dan kamu sama-sama miliki adalah harga diri. Jadi jangan main-main dengan harga diriku! Hanya itu satu-satunya hal yang aku miliki dan aku jaga dengan seluruh keringat, darah, tubuh dan jiwaku.
Hidup adalah memakan atau dimakan.
Menekan dan tertekan (atau ditekan).
Juga berani atau takut.
Hidup adalah keseimbangan itu sendiri. Dan hidup diseimbangkan oleh mati. Prinsip inilah yang membuatku bertahan dalam menapaki setapak takdirku. Kau yang tercantik, aku yang terburuk. Kau yang terpandai, aku yang terbodoh. Kau yang terpopuler, aku yang ter-tak dikenal. Kau yang tersayang, aku yang tak pernah mengerti apa itu kasih sayang. Kau yang beruntung dan aku yang sangat malang.
Apakah aku menyerah? Tidak. Takkan pernah. Walau terkadang aku labil. Bagiku itu manusiawi. Bagiku itu adalah proses menuju kestabilan. Akankah kau tahu bahwa kau stabil jika kau tidak pernah merasakan seperti apa labil itu? Tentu kau bertanya-tanya, apa gerangan yang membuat si bodoh ini bisa berpikir demikian cerdas?! Jawabannya adalah karena aku mau. Karena aku yakin. Karena aku berusaha. Dan karena aku berdoa.
Sebodoh-bodohnya aku, jangan kira aku tak tahu bagaimana caranya berdoa dan memohon sesuatu kepada Sang Pencipta. Jangan pernah kau remehkan aku karena akulah yang mengemudikan hidupku. Akulah nahkoda dari kapal laut yang membawaku hinggap dari satu kepahitan ke kepahitan lain. Dari satu pengalaman ke pengalaman lain. Dari satu pelajaran ke pelajaran lain yang tak pernah kau dapatkan. Karena kau tak pernah mencicipi pahit. Karena ruang gerakmu selalu dihiasi dengan gula-gula beraneka rasa yang takkan pernah habis walau kau makan dalam tiap detik hidupmu. Semua serba ada. Semua tak ada yang nampak begitu sulit bagimu. Sedang aku, yang telah ditinggal mati oleh ibu semenjak ia melahirkanku, yang tidak mengetahui siapa ayah biologisku, yang terlunta-lunta semasa balita, dan yang tidak mengerti apa itu kasih sayang, ah.. kurasa tak perlu kuteruskan. Tentu bisa kau bayangkan sendiri, bukan?
Iri? Aku tidak iri. Aku hanya memberi contoh mengenai keseimbangan di dunia ini. Seperti yin-yang. Hitam dan putih yang melengkung saling melindungi dan mengisi satu sama lain. Aku berkata-kata juga untuk menguatkan mereka (dan aku sendiri tentunya) yang tak seberuntung kamu. Yang hanya memiliki kesendirian dalam setiap langkah yang ditempuh. Yang mengais-ngais hati mencari kebaikan sendiri yang bisa ditukar dengan sebungkus nasi hangat. Yang masih mampu bersyukur walau tidak pernah merasakan dinginnya lantai marmer atau hangatnya tempat tidur sepertimu. Bagi mereka dingin disaat hujan dan panas disaat kemarau adalah hidup. Hidup yang cukup dan mereka syukuri setiap hari. Tentu mereka juga menginginkan hidup yang lebih layak. Lebih enak. Lebih mudah. Begitu juga aku. Tapi bukan ketamakan dan kesombongan itu yang mereka simpan di otak dan hati masing-masing. Mereka pun mau, yakin, berusaha dan berdoa untuk mewujudkan gambaran mimpi-mimpi mereka menjadi sebentuk kenyataan. Tidak perlu manis sekali hingga takkan pernah habis seperti milikmu. Cukup dengan rasa manis yang samar-samar, aku yakin mereka akan bersyukur seratus kali lebih sering dari biasanya.
Lalu, apa sajakah yang kau lakukan dengan segala bongkahan kenikmatan itu? Sudahkah kau bersyukur seratus ribu kali setiap harinya? Karena jika mereka saja yang hanya memperoleh seperseratus dari apa yang kau miliki mampu bersyukur seratus kali setiap harinya, apalagi kamu?
[Hidup adalah senja berganti malam. Adalah detik, menit, jam, hari, minggu, bulan dan tahun yang kita manfaatkan. Masa kini yang terasa bergairah, masa lalu yang terasa sarat makna dan masa depan cerah yang akan kita wujudkan.]
Kamar kost, Agustus 2004
Second Seconds
2 weeks ago
|